Jumat, 08 Mei 2015

ETIKA POLITIK ISLAM


LEMBAR PERNYATAAN



Saya Yang Bertanda Tangan Dibawah Ini :

Nama              : Gessang Jaya Syahputra
NPM               : 13413695
Kelas               : 2IB03
Jurusan          : Teknik Elektro

Menyatakan bahwa makalah yang telah sampai 2851 kata dan bukan hasil dari plagiat.



ETIKA POLITIK ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN


Definisi Etika

Pengertian etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak serta kewajiban moral (akhlak)”. Sedangkan menurut Bahasa Yunani etika disebut juga sebagai cabang utama filosofi yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika sendiri mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan bertanggung jawab. Etika akan muncul bila manusia mereflesikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat kita yang kadang muncul secara spontanitas. Kebutuhan akan refleksi itu dapat kita rasakan jika pendapat etis kita tidak sejalan dengan pendapat orang lain (bertentangan). Untuk itulah, kita sangat perlu mengenal lebih dalam tentang etika. Karena dengan belajar etika, kita akan tau mana yang benar dan mana yang salah. Dan ketika sedang dalam diskusi umum, alangkah baiknya jika kita memperlihatkan etika yang kita miliki agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain tentang etika yang kita miliki.

Salah satu norma yang berlaku dalam masyarakat adalah norma moral, yaitu aturan mengenai sikap, perilaku dan tindakan manusia sebagai yang berkehidupan dimasyarakat. Norma moral,  atau yang sering disebut moralitas dapat didefinisikan sebagai standar yang dimiliki seseorang atau individu ataupun kelompok tentang apa yang benar dan apa yang salah, te4ntang apa yang baik dan apa yang jahat. Norma moral menjadi standar bagi orang lain atau masyarakat untuk menentukan baik buruknya perilaku dan tindakan seseorang, serta benar salah perilaku orang tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.

Etika dikategorikan sebagai sifat moral atau etika normatif. Etika normatif mengajarkan segala sesuatu yang sebenarnya benar menurut hukum dan moralitas. Etika mengajarkan sesuatu yang salah adalah salah dan sesuatu yang benar adalah benar. Sesuatu yang benar tidak dapat dikatakan salah tidak dapat dikatakan benar. Benar dan salah tidak dapat dicampur adukkan demi kepentingan seseorang atau kelompok. Dalam mempelajari etika diperlukan usaha memperbandingkan etika dengan moralitas. Etika maupun moralitas sering diperlakukan sama sejajar dalam memberi arti terhadap sebuah peristiwa interaksi antar sesama manusia.

Definisi Etika Menurut Al-Qur’an

Dalam pandangan islam, iman merupakan fitrah dan kebutuhan dasar manusia. Iman melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Satu, yaitu sebuah tata nilaiyang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Dengan demikian iman mengkonstruksi kesadaran manusiaakan adanya sebuah pertanggungjawaban kepada Allah, tuhan seru sekalian alam’ bukan pertanggungjawaban kepada manusia atau makhluk-Nya yang lain. Dengan demikian, iman membebaskan manusia dari ketakutan-ketakutan terhadap sesame makhluk Allah. Hal ini dikarenakan ada kesadaran bahwa pertanggungjawaban sepenuhnya diberikan kepada-Nya.
Dalam ajarannya, Islam tidak mengenal system kelas (wihdatul insaniyah) mengingat kehadirannya didunia adalah pemberi rakhmat dan perlindungan serta berkah bagi manusia (rahmatan li al amin) Disini islam memberi ruang yang luas bagi manusia untuk berpartisipasi dalam setiap bidang kehidupan, baik menyangkut hokum, politik, ekonomi, dan lain sebagainya tanpa dibatasi oleh strata social maupun latar belakang budaya.
Dengan ajarannya, Islam sangat menjunjung tinggi keterbukaan dan toleransi. Tanpa memandang latar belakang yang dimilikinya seperti budaya, agama, bangsa dan lain sebagainya, dapat bekerjasama dengan umat Islam tanpa harus mereduksi identitas yang sudah dimiliki.

Definisi Etika Politik

Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis.
Maka sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti: Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke), Kebebasan berpikir dan beragama (Locke), Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie), Kedaulatan rakyat (Rousseau), Negara hukum demokratis/republican (Kant), Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb) dan Keadilan sosial

Empat Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer :
1.      Pluralisme
2.      HAM
3.      Keadilan Sosial
4.      Urgensi Etika Politik

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan…, ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten. kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah “yang jujur hancur”. Ungkapan ini menunjukkan. urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi.

Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.


BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Sistem Khalifah
Khilafah (bahasa Arab: ), adalah kepemimpinan, imamah, biasa juga disebut kekhalifahan. Ia merupakan suatu bentuk pemerintahan Islam. Pemimpin atau ketua pemerintahannya dinamakan khalifah. Menurut al-Quran segala sesuatu di Bumi ini termasuk daya dan kemampuan yang diperolehi seseorang hanyalah karurnia dari Allah (swt). Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah atau wakil Allah (Yang Maha Memiliki) supaya mereka dapat menggunakan karurnia tersebut sesuai dengan keridhaan-Nya. Khalifah dianggap sebagai pewaris Nabi Muhammad s.a.w.  khalifah dilantik oleh rakyat atau wakilnya.

1.2 Sistem Khalifah
Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu Negara dalam mengatur pemerintahannya. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintah politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía)“kekuasaan rakyat”,yang dibentukdari kata (dêmos) “rakyat” dan (Kratos) “kekuasaan”. Jadi dapat di tarik kesimpulan bahwa Sistem pemerintahan Demokrasi adalah system pemerintahan suatu negara yang kekuasaannya mutlak di tentukan oleh rakyat / melalui perwakilan rakyat. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg mendefinisikan demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam system demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.Dengan adanya system demokrasi, kekuasaan absolute satu pihak melalui tirani,kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.

1.3 Mana yang lebih tepat untuk konteks Indonesia menurut pandangan Islam?
Dari berbagai sumber yang kami peroleh ternyata penerapan Sistem Khalifah itu lebih tepat di terapkan untuk konteks Demokrasi di Indonesia karena Sistem Demokrasi di Indonesia terdapatberbagaikekurangan di antaranyasebagaiberikut:

Demokrasi bermakna: kedaulatan ada di tangan rakyat yang berwenang membuat hokum sesuai dengan kehendak mereka berdasarkan suara mayoritas, menghalalkan dan mengharamkan, serta menetapkan status terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan dalam segala perilakunya bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, bebas meminum khamr, berzina, murtad, serta mencela dan mencaci hal-hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual. Inilah hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan pengertian demokrasi. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim yang mengimani Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi itu berasal dari Islam?
Kedaulatan di dalam Islam ada di tangansyariah. Sistem khalifah berarti kepimimpinan. Kepemimpinan adalah amanah. Amanah adalah kepercayaan yang diberikan karena ada unsur kemampuan pada yang dipercayai. Maka, kepemimpinan merupakan kepercayaan yang diberikan kepada orang-orang yang dipandang memiliki kemampuan dalam menjalankan urusan organisasi. Dan seorang khalifah bertugas memberikan rasa aman terhadap umat. Aman dalam ibadah, berarti pemimpin mesti membimbing umat, bagaimana beribadah yang benar sehingga aman dari ancaman adzab Allah. Aman dalam kehidupan dunia, berarti para pemimpin harus mengarahkan umat agar aman dari ancaman dan tipuan dunia, sehingga dunia berada di bawah penguasaan umat bukan umat berada di bawah penguasaan dunia. Aman dari segala hal sehingga umat benar-benar sejahtera lahir dan batin.

Seorang khalifah selalu berpegang pada syariat. Jika melanggar, tugas umat sebenarnya adalah meluruskan. Dengan begitu, harapan terwujudnya masyarakat yang sakinah, aman dan nyaman, insya Allah akan dicapai. Dan, ini terlihat dari indikasi seimbangnya arus hak dan kewajiban. Jadi, sistem kekhalifahan cocok untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem demokrasi.

1.4 Alasan sistem Demokrasi tidak tepat diterapkan di Indonesia
Demokrasi adalah menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Tuhan alam semesta. Apalagi demokrasi juga menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan untuk murtad dan gonta-ganti agama tanpa ikatan. Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion), bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para pahlawan.
Demikianlah pandangan demokrasi menurut sudut pandangan Islam. Dan hukum tetaplah milik Allah SWT, bukanlah dari manusia yang mementingkan kepentingan pribadi walaupun menurut kenyataannya sekarang Demokrasi merupakan sistem yang dijunjung tinggi di dalam pemerintahan saat ini.

2.1 Model pemerintahan  Rasulullah dan Khulafaur Rasyidun

2.1.1 Pemerintahan Rasulullah SAW
Firman Allah SWT: ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab:21).
Dengan Muhammad saw di utus untuk membebaskan manusia dari berbagai penindasan, intimidasi, pelecehan kemanusiaan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh para penindas. Muhammad saw menjadi pemimpin manusia yang bertujuan membangun masyarakat yang didasarkan pada nilai- nilai keimanan, egalitas sosial, persaudaraan. Muhammad saw. diutus untuk membebaskan para budak, anak yatim, perempuan, kaum miskin dan lemah.

“Setiap kalian adalah pemimpin. Dan, setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban” demikian sabda Rasulullah dalam hadits Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad. “Seorang imam adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin penduduk rumahnya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang perempuan merupakan pemimpin di rumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

2.1.2 Pemerintahan Khulafaur Rasyidun
Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam. Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana pemilihan kepemimpinan Islam akan berlangsung.

Berikut ini beberapa khalifah yang pernah memimpin :

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu bakar ash-Shiddiq adalah seorang pedagang yang selalu memelihara kehormatan dan harga dirinya. la seorang yang kaya, mempunyai pengaruh yang besar, dan memiliki akhlak mulia. Sebelum datangnya Islam, ia sudah menjadi kawan akrab Rasulullah. Usianya pun hampir sama dengan Rasulullah. Begitu pun dengan kemuliaan, profesi, dan keturunannya.

Tidak berlebihan jika ia terpilih menjadi khalifah pertama.
Ia telah meletakkan garis-garis besar kepemimpinan yang menerangkan tentang sifat dan akhlak pemimpin yang baik. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kepemimpinan kerja dan perbuatan, bukan perkataan
2. Takwa dan amal saleh adalah pondasi kepemimpinan
3. Menjaga kesatuan dan persatuan pasukan
4. Menjelaskan metode kepemimpinan kepada para pengikut
5. Menggunakan nasihat yang baik dan pengarahan yang benar kepada para personel pasukan
6. Memperbaiki diri sendiri sebelum orang lain
7. Selalu melaksanakan shalat tepat pada waktunya

2. Umar Ibnul-Khaththab
Umar ibnul-Khaththab merupakan salah satu sosok pemimpin yang tegas, jujur dan adil dalam Islam. Ia adalah khalifah kedua dalam Islam setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Untuk menertibkan para pejabat bawahannya, Umar ibnul-Khaththab menulis “Risalatul Qada” atau “Dustur Umar" yang berisi nasehat dan aturan praktis untuk menerapkan keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan.
Sebelumnya, di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar menjabat sebagai hakim. la menjalankan amanah tersebut dengan begitu cerdas, adil, dan tegas, sehingga ia pemah mengajukan pengunduran diri dari jabatan tersebut kepada Abu Bakar, karena tak ada lagi perkara kejahatan yang bisa diurusnya.

3.  Usman Bin Affan
Khalifah Islam yang ketiga ini memiliki nama panjang Ustman bin Affan al-Umawi al-Quraisyi. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Abdillah atau Abu Amr. Usianya lebih muda 5 tahun daripada Rasulullah saw. Ia adalah saudagar kain yang kaya raya dan juga memiliki ternak yang paling banyak diantara orang-orang Arab lainnya. Ia diangkat rnenjadi khalifah oleh Majelis Syuro ketika itu. Bakat kepemimpinannya telah terlatih karena ia berpengalaman memimpin usaha dagang dan ternaknya.
  
Diantara sifat-sifat kepemimpinan yang dimilikinya yaitu:
1. Menjalankan Al-Quran dan As-Sunnah
2. Teguh pendirian
3. Dermawan
4. Lemah lembut dan sopan santun, bahkan terhadap lawannya

4. Ali bin Abi Thalib

Karakter kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, seperti yang diungkapkan Dhirar bin Dhamrah kepada Muawiyyah bin Abu Sufyan adalah sebagai berikut :
1. Berpandangan jauh ke depan (visioner)
2. Sangat kuat (fisik)
3. Berbicara dengan sangat ringkas dan tepat
4. Menghukum dengan adil

3.1 Adakah titik temu antara Sistem Politik Islam dan Sistem Demokrasi
Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di tangan Allah (di tangan syariat). Kehendak yang paling tinggi itu ada di tangan syariat. Kesanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Itu menunjukan bahwa syariat menempati posisi yang paling tinggi. Begitu syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu, mereka tunduk.  Jadi, kalau Allah dan Rasul-NYA sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-NYA. Ini menunjukan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-NYA. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, syariat. Di situlah kita wajib menolak, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara. Jadi, Khilafah tidak terkait dengan demokrasi. Seperti yang dijelaskan dipembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada titik temu antara Sistem Politik Islam dengan Sistem Demokrasi.

BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Jadi berdasarkan penelitian kami dari berbagai sumber ternyata sistem Khalifah itu lebih cocok di terapkan dalam konteks demokrasi karena selain mengamanatkan peninggalan rasul sistem khalifah juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem demokrasi yang terlalu bebas dan sering sekali disalahgunakan kebebasannya yang dapat menjerumuskan umat manusia dalam perbuatan-perbuatan maksiat.
Pemerintahan Rasululah dan Khulafaur Rasyidun itu selalu membangun pemerintahan yang tegas, adil, dan jujur. Tidak seperti pemerintahan zaman sekarang. Dan seperti yang dijelaskan dipembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada titik temu antara Sistem Politik Islam dengan Sistem Demokrasi.

Referensi
Fazlur Rahman, “Law and Ethics in Islam,” (Malibu, Cal. Undeila Publications, 1985)
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terjemahan Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967)
Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003
Farid Abdul Khalid, Fiqih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 1998
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar