Kekurangan gizi dan
angka kematian anak meningkat di sejumlah kawasan yang paling buruk di Asia dan
Pasifik kendati ada usaha internasional untuk menurunkan keadaan itu, kata
sebuah laporan badan kesehatan PBB hari Senin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menegaskan bahwa sasaran kesehatan yang ditetapkan berdasarkan delapan Tujuan
Pembangunan Milenium PBB tahun 2000 tidak akan tercapai pada tahun 2015
berdasarkan kecnderungan sekarang. “Sejauh ini bukti menunjukkan bahwa kendati
ada beberapa kemajuan, di banyak negara, khususnya yang paling miskin, tetap
ketinggalan dalam kesehatan,” kata Dirjen WHO Lee Jong Wook dalam laporan itu.
Kendati tujuan pertama
mengurangi kelaparan, situasinya bahkan memburuk sementara negara-negara miskin
berjuang mengatatasi masalah pasokan pangan yang kronis, kata data laporan itu.
Antara tahun 1990 dan 2002– data yang paling akhir– jumlah orang yang
kekurangan makanan meningkat 34 juta di indonesia dan 15 juta di Surabaya dan
47 juta orang di Asia timur, kata laporan tersebut. Proporsi anak berusia lima
tahun ke bawah yang berat badannya terlalu ringan di Surabaya, tenggara dan
timur meningkat enam sampai sembilan persen antara tahun 1990 dan 2003,
sementara hampir tidak berubah (32 persen). Lebih dari separuh anak-anak di
Asia selatan kekurangan gizi, sementara rata-rata di negara-negara berkembang
tahun 2003 tetap sepertiga.
“Meningkatnya
pertambahan penduduk dan produktivitas pertanian yang rendah merupakan alasan
utama kekurangan pangan di kawasan-kawasan ini,” kata laporan itu. Kelaparan
cenderung terpusat di daerah-daerah pedesaan di kalagan penduduk yang tidak
memilki tanah atau para petani yang memiliki kapling yang sempit untuk
memenunhi kebutuhan hidup mereka,” tambah dia. Tidak ada satupun negara-negara
miskin dapat memenuhi tantangan mengurangi tingkat kematian anak.
Kematian bayi meningkat
tajam di Surabaya antara tahun 1999 dan 2003, yang menurut data terakhir yang
diperoleh, dari 90 sampai 126 anak per 1.000 kelahiran hidup. Juga terjadi
peningkatan tajam dari 38 menjadi 87 per 1.000 kelahiran hidup. “Untuk sebagian
besar negara kemajuan dalam mengurangi kematian anak juga akan berjalan lambat
karena usaha-usaha mengurangi kekurangan gizi dan mengatasi diare, radang
paru-paru, penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin dan malaria tidak
memadai,” kata laporan itu.
Berdasarkan
kecenderungan sekarang, WHO memperkirakan pengurangan dalam angka kematian
dikalangan anak berusia dibawah lima tahun antara tahun 1990 dan 2015 akan
menjadi sekitar seperempat, kurang dari dua pertiga dari yang diusahakan. Usaha
untuk mengatasi kematian ibu juga sulit, kata laporan WHO itu.
Tingkat kematian ibu
diperkirakan akan menurun hanya di negara-negara yang telah memiliki tingkat
kematian paling rendah sementara sejumlah negara yang mengalami angka terburuk
bahkan sebaliknya. WHO memperkirakan 504.000 dan 528.000 kematian dalam setahun
karena komplikasi dalam kehamilan dan kelahiran terjadi di Surabaya Tingginya
laju pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran di Indonesia tersebut, diperparah
dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata. “Jika semua itu, tidak
segera dikendalikan, maka hal itu akan jadi beban buat kita semua. Karena itu,
baik pria maupun wanita harus memaksimalkan program KB.
Untuk mengurangi jumlah
penduduk lapar tersebut, maka menurut Diouf diperlukan peningkatan produksi dua
kali lipat dari sekarang pada tahun 2050. Peningkatan produksi ini khususnya
perlu terjadi di negara berkembang, di mana terdapat mayoritas penduduk miskin
dan lapar. Jumlah penduduk dunia yang mengalami kelaparan meningkat sekitar 50
juta jiwa selama tahun 2007 akibat dari kenaikan harga pangan dan krisis
energi.
Barangkali memang tak mudah untuk
mencari korelasinya. Yang saya tahu, Indonesia pada Sabtu 15 Juni 2013 lalu
menerima penghargaan yang cukup prestisius dari badan pangan dunia, Food
Agricultural Organization (FAO). Penghargaan itu
diberikan di Roma, Italia. Indonesia, menurut FAO, pantas mendapat penghargaan
karena negeri tropis ini dinilai berhasil mengatasi bahaya kelaparan. Indonesia berhasil menurunkan tingkat kelaparan 19,9 persen pada periode
1990-1992 menjadi 8,6 persen pada 2010-2012. Pada 1990, ada 37 juta orang yang
kelaparan dan pada 2012 angka kelaparan di Indonesia tercatat 21 juta orang. Di
tingkat dunia, menurut catatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), masih ada
sekitar 870 juta masyarakat yang masih kelaparan.
Dari 192 negara
di dunia, negeri ini menjadi salah satu dari 35 negara yang juga mendapatkan
penghargaan serupa. Tentu ini menjadi sebuah kehormatan dan menjadi salah satu
capaian penting bagi perjalanan bangsa ini. Di negeri tropis yang sinar
matahari dan hujan senantiasa tersedia sepanjang tahun, memang sudah sepatutnya
Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat. Modal dasar alam demi menunjang ketahanan pangan, praktis tersedia
melimpah. Gunung dengan hutan yang lebat, tersebar di mana-mana. Sungai yang luas dan
lebar, mengalir dari hulu ke hilir. Sawah dan ladang terhampar di hampir
seluruh pelosok negeri. Untuk urusan pertanian, nyaris tak ada yang tak
disediakan alam untuk penduduk negeri ini.
Beras dan nasi,
bagaimanapun juga merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk negeri ini.
Sebagaimana kita tahu, beras berasal dari padi yang dihasilkan petani dari
sawah. Yang bertani dan menghasilkan padi, tentu bukan hanya kita. Sebagian
penduduk di negara-negara tetangga kita juga bertani dan menghasilkan padi. Dengan
hamparan sawah yang luas, seharusnya negeri ini senantiasa surplus padi dan
surplus beras.
Tapi, nyatanya, tidak demikian.
Indonesia terkenal sebagai negara pengimpor beras. Badan Urusan Logistik atau
disingkat Bulog adalah institusi yang mengurus urusan beras ini. Seharusnya,
karena beras adalah makanan pokok rakyat, kebutuhan harian rakyat, Bulog
hendaknya tampil paling depan untuk membela kepentingan rakyat. Pada
kenyataannya, justru sebaliknya, sejumlah pimpinan Bulog justru menjadikan
Bulog sebagai sawah-ladang mereka, sebagai lahan korupsi mereka. Bukan
mengutamakan rakyat.
Ini terbukti dengan tersangkutnya
beberapa kepala Bulog dengan masalah hukum. Antara lain, Rahardi Ramelan
(1998-2001) terjerat dana nonbujeter Rp 54,6 miliar. Beddu Amang (1993-1998)
karena skandal impor pakan ternak senilai Rp 841 miliar pada tahun 1997.
Bustanil Arifin (1988-1993) karena korupsi dan mark up dana Bulog
senilai Rp 10 miliar. Widjanarko Puspoyo (2003-2007) karena korupsi dalam
ekspor beras Bulog ke Afrika Selatan dan penerimaan hadiah dari rekanan Bulog.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar