PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF
Limbah
radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset,
pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri,
pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang
menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring
Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara maju, limbah radioaktif
juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan
kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/
fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah
timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan
hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan,
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan
limbah (disposal).
Dalam
U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa "Pengelolaan limbah
radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Dalam Pasal 3 ayat (1),
Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Badan Pelaksana dalam hal ini adalah Badan Tenaga
Nuklir Nasional (Batan). Sesuai Keputusan Kepala Batan No.166/KA/IV/2001
tentang Organisasi dan Tata Kerja Batan, pengelolaan limbah radioaktif
dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR).
Dalam pasal 23 ayat (2), Batan dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif
dapat bekerjasama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Koperasi dan/ atau Badan Usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah
membuka pintu-pintu lebar-lebar bagi pihak swasta atau Badan Usaha lainnya
untuk berperan serta dalam pengelolaan limbah radioaktif yang aman untuk
generasi saat ini maupun untuk generasi yang akan datang.
Skema
pengelolaan limbah radioaktif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan, pengembangan
dan penguasaan iptek nukkir secara umum ditampilkan dalam Gambar.
1.
Minimisasi
Limbah
Dalam
pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari
perencanaan,
pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada
tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi,
yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan
perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak
menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi
berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta
membatasi limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah
penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan
iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang
akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat
izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas, seperti telah
diuraikan sebelumnya.
2.
Pengelompokan
Limbah Radioaktif
Limbah
radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan
ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi
(LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu
yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup,
masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi
awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap
negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang
berlaku di masing-masing negara. Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain
berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu-paro (T1/2),
panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat
dalam limbah.
Di
Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif
berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat
rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR,
berdasarkan bentuknya limbah radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair
(organik, anorganik), limbah padat (terkompaksi/tidak terkompaksi,
terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan aktivitasnya
dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3),
limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan limbah aktivitas
tinggi (LTT > 104Ci/m3).
Penimbul
limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah
Sakit, industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai
dengan jenis dan tingkat aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat
diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong untuk pengolahan lebih
lanjut.
3.
Teknologi Pengolahan Limbah
Tujuan utama
pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam
penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup
aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum
digunakan antara lain adalah teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi,
dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi
(insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah,
imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume
selanjutnya dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok,
dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik
sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama
(ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal
ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan
tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida
waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga
dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD yang
ditolerir untuk anggota masyarakat.
a.
Limbah Radioaktif Tingkat Rendah dan Sedang
Teknologi
pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS)
telah mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri
nuklir. Penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan
dan disposal limbah ini sudah sangat terbatas. Negara-negara berkembang dapat
mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan disposal dari negara-negara
industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah
disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya
meningkatkan kepercayaan masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir
saat ini cenderung langsung mendisposal LTR dan LTS dari pada menyimpannya di
tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see). Penerapan disposal secara
langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja, juga
diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek
nuklir.
P2PLR semenjak
tahun 1989 hingga saat ini (±13 tahun) telah mengolah LTR dan LTS baik yang
berasal dari kegiatan BATAN maupun dari kegiatan industri, rumah sakit dan
kegiatan lainnya. Limbah cair diolah dengan unit Evaporator yang mempunyai
faktor pemekatan 50 kali dan kapasitas pengolahan 750 liter/jam. Limbah padat
terbakar diolah dengan unit insinerator yang mempunyai kapasitas pembakaran 50
kg/jam. Limbah padat terkompaksi/tidak terbakar diolah dengan unit kompaktor
yang mempunyai kuat tekan 60 kN. Limbah hasil-olahan disimpan di tempat
penyimpanan sementara (Interim Storage, IS-1) yang mempunyai kapasitas
penampungan 1500 sel drum 200 liter. Jumlah limbah hasil-olahan yang disimpan
di IS-1 saat ini masing-masing 507 buah dalam drum 200 liter, 45 buah dalam cel
beton 950 liter dan 34 buah dalam cel beton 350 liter. Data ini menunjukkan
laju pengolahan limbah per tahun relatif rendah. Namun demikian untuk
mengantisipasi jumlah limbah hasil-olahan untuk masa yang akan datang, P2PLR
saat ini telah membangun IS-2 dengan kapasitas yang sama.
P2PLR dalam
pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan umum
digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di
fasilitas IS-1, sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan
limbah tersebut tercecer atau tidak bertuan dapat dihindarkan.
b.
Limbah Tingkat Tinggi
Kebijakan
pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir (BBN)
bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah.
Beberapa negara melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan
material fisil dan fertil yang masih terkandung dan sekaligus mereduksi
volumenya. Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah (daur-terbuka), dan
berencana untuk mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep
repository).
Dalam diposal LTT,
di negara-negara industri nuklir saat ini masih terjadi perdebatan, sebagian
pakar memilih opsi penyimpanan lestari/disposal dalam formasi geologi dan
sebagian lainnya mempertimbangkan opsi "non-disposal" (indefinite
surface storage). Opsi non-disposal adalah merupakan kecenderungan untuk
menerima ide retrievebility dan reversibility. Konsekuensi dari penerimaan opsi
ini berdampak kepada disain fasilitas, namun tidak mempengaruhi secara teknis.
Saat ini, beberapa
negara-negara industri nuklir juga sedang mengeksplorasi jalur lain, yaitu
jalur partisi dan transmutasi dalam upaya mengurangi T1/2. Studi ini bertujuan
untuk mendapatkan pengetahuan yang mendasar dalam menetapkan strategi
pengelolaan LTT. Walaupun jalur partisi dan transmutasi dapat mengurangi T1/2
limbah, namun secara keseluruhan tetap tidak menutup kebutuhan disposal. Dengan
meningkatnya radionuklida T1/2 pendek hasil partisi/transmutasi akan
meningkatkan paparan radiasi. Hal ini berdampak pada keselamatan radiasi
terhadap pekerja, sehingga memerlukan kajian tersendiri.
BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut.
BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut.
4.
Pembuangan Limbah Radioaktif
Strategi
pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu
konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan
Tahan" (PDT). Kedua strategi ini umumnya diterapkan dalam pemanfaatan
iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat dihindarkan
menggugurkan strategi zero release.
5.
Pembuangan Efluen
Dalam
pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan
efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang
langsung ke atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di
tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong, dibersihkan
kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan sistem
pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang
langsung ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan
limbah cair radioaktif. Tiap jenis radionuklida yang terdapat dalam efluen yang
di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi di bawah BME.
Pembuangan efluen
radioaktif secara langsung, setelah proses pengolahan/dibersihkan dan setelah
peluruhan ke lingkungan merupakan penerapan strategi EDS. Dalam pembuangan
secara langsung, setelah dibersihkan dan setelah peluruhan
aktivitas/konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam efluen harus berada di
bawah BME. Radionuklida yang terdapat dalam efluen akan terdispersi dan
selanjutnya melaui berbagai jalur perantara (pathway) yang terdapat di
lingkungan akan sampai pada manusia sehingga mempunyai potensi meningkatkan penerimaan
dosis terhadap anggota masyarakat. Penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat
ini harus dibatasi serendah-rendahnya (penerapan azas optimasi). Dosis maksimal
yang diperkenankan dapat diterima anggota masyarakat dari pembuangan efluen ke
lingkungan dari seluruh jalur perantara yang mungkin adalah 0,3 mSv per tahun.
Dosis pembatas (dose constrain) sebesar 0,3 mSv memberikan kemungkinan
terjadinya efek somatik hanya sebesar 3,3x10-6. Berdasarkan dosis pembatas ini
BME tiap jenis radionuklida yang diizinkan terdapat dalam efluen dapat dihitung
dengan teknik menghitung balik pada metode prakiraan dosis. BME tiap jenis
radioaktif ini harus mendapat izin dan tiap jenis radionuklida yang terlepaskan
ke lingkungan harus dimonitor secara berkala dan dilaporkan ke Badan Pengawas.
BME tiap jenis
radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang dibuang
ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan
metode faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan
semenjak reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987.
Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN Serpong
telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional maupun internasional.
6.
Disposal Limbah
Penyimpanan
lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan strategi
PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap
anggota masyarakat, dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi
dosis pembatas yang diperkenankan. Pengoperasian fasilitas disposal ini harus
mendapat izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan Pengawas.
a.
Lokasi Disposal
Pemilihan lokasi
untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi yang
direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor
teknis yang dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia,
tektonik dan kegempaan, berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi,
meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan, distribusi penduduk dan
perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah
penerimaan oleh masyarakat. Di negara-negara industri nuklir moto "Not In
My Backyard" (NYMBY) telah merintangi dalam pemilihan lokasi, tidak hanya
untuk disposal limbah radioaktif juga terhadap limbah industri lainnya. Oleh
karena itu perhatian terhadap faktor-faktor sosial (societal issues) selama
pase awal proses pemilihan lokasi memerlukan perhatian ekstra hati-hati dan
seksama. Isu ini menyebabkan negara-negara industri nuklir cenderung memilih
lokasi (site) nuklir yang telah ada untuk pembangunan fasilitas disposal.
Sebagai contoh diantaranya fasilitas disposal Drig (United Kingdom), Centre de
la Manche (Perancis), Rokkasho (Jepang) dan Oilkiluoto (Finlandia).
P2PLR telah
melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir PPTN
Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi
untuk disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara
menyimpulkan bahwa kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat
(pola aliran air tanah, demographi, dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan
sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN telah dapat
diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk pembangungan
sistem disposal near-surface dan deep disposal.
b.
Rancang-bangun
Fasilitas disposal
dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan pemenuhan
regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan
radionuklida untuk tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi
bahaya (hazard) maksimal, sehingga paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota
masyarakat selama operasi dan pasca-operasi minimal. Tujuan ini dapat dicapai
melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket limbah, struktur
teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor
teknis tersebut.
Rancang-bangun
fasilitas disposal berkaitan erat dengan kemajuan teknologi dan perhatian
masyarakat terhadap keselamatan radiasi dan lingkungan serta perlindungan
generasi yang akan datang. Rancang-bangun yang banyak diminati adalah sistem
disposal dengan penahan berlapis (multiple engineered barriers). Sistem ini
terdiri dari bungker beton (concrete vault), bahan pengisi (backfill material),
penahan berdasarkan proses kimia (chemical barrier), sistem ventilasi (mesure
for gas venting) sistem drainase (drainage) dan daerah penyangga (buffer zone).
Saat ini beberapa
jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-negara
industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface),
18 % di permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi
geologi (deep disposal).
c.
Pengkajian Keselamatan
Pengkajian
keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan mengevaluasi
unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun untuk
kondisi yang akan datang, diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang
sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti model dan parameter, periode
waktu yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus dievaluasi secara
konsisten, walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal
ini dapat diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang
mungkin terjadi. Skenario adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin
terjadi secara konsisten mengenai evolusi dan kondisi dimasa yang akan datang.
Proses pengkajian keselamatan umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan
proses, seperti kontek perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi,
perizinan, kriteria yang digunakan, dan waktu pengoperasian), rincian
rancang-bangun, pengembangan dan menenetapkan skenario, memformulasikan dan
penerapkan model. Melakukan analisis dan menginterpretasikan hasil dengan
membandingkan terhadap kriteria yang direkomendasikan.
Kemampuan untuk
melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur (organisasi,
peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara
berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan
Lestari dan Bidang Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk
pengkajian skenario, mendapatkan besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian
dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian unjuk kerja fasilitas
disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat
dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal
limbah radioaktif.
d.
Penerimaan Masyarakat
Penerimaan
masyarakat terhadap pemanfaatan iptek-nuklir sangat dipengruhi oleh keamanan
dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif, dimana didalamnya termasuk
masalah bersifat teknis dan sosial. Di negara-negara industri nuklir
upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat, yaitu
meningkatkan dialog/komunikasi dengan komunitas lokal di mana
fasilitas/kegiatan nuklir akan diintroduksi dan dengan masyarakat luas yang
secara nyata menunjukan komitmen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang
unggul (excellent). Di beberapa negara menawarkan insentif finasial ke
komunitas yang menerima di mana di daerahnya akan diintroduksi
fasilitas/kegiatan nuklir. Kompensasi ditetapkan tidak sebagai hadiah, namun
berdasarkan diskusi terhadap isu-isu masalah keselamatan. Sebagai contoh dari
finansial insentif dapat berupa kesempatan kerja untuk komunitas lokal yang
lebih besar atau pembebasan biaya listrik bila dilokasi tersebut dibangun Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Isu-isu sosial
(societal issues) yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kepercayaan
masyarakat diantaranya adalah jaminan independensi dari Badan Pengawas dan
keputusan yang diambil oleh Badan Pengawas terhadap perizinan dalam pemanfaatan
iptek nuklir haruslah berdasarkan suatu pengkajian dan pertimbangan yang tepat.
Dalam masalah disposal, diantaranya demonstrasikan bahwa masalah keselamatan
telah memperhatikan generasi yang akan datang, pengambilan keputusan dilakukan
secara bertahap dan transparan serta lakukan komunikasi yang efektif dengan
penduduk lokal dalam membangun kepercayaan.
KESIMPULAN
Keselamatan
radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif diupayakan melalui:
Pembatasan penerimaan dosis, Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditolerir dapat diterima oleh anggota masyarakat sebesar 1,0 mSv per tahun. NBD untuk anggota masyrakat ini relatif lebih kecil dari yang diterima rata-rata dari radiasi alam (2,4 mSv per tahun).
Penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari kegiatan pembuangan efluen radioaktif ke atmosfer dan ke badan-air, serta dari disposal limbah dibatasai maksimal sebesar 0,3 mSv per tahun. Besarnya dosis pembatas ini, mempunyai potensi kemungkinan terjadinya efek somatik sebesar 3,3 x 10-6, sesuai dengan standar de minimus, nilai risiko ini termasuk dapat diabaikan.
Pembatasan penerimaan dosis, Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditolerir dapat diterima oleh anggota masyarakat sebesar 1,0 mSv per tahun. NBD untuk anggota masyrakat ini relatif lebih kecil dari yang diterima rata-rata dari radiasi alam (2,4 mSv per tahun).
Penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari kegiatan pembuangan efluen radioaktif ke atmosfer dan ke badan-air, serta dari disposal limbah dibatasai maksimal sebesar 0,3 mSv per tahun. Besarnya dosis pembatas ini, mempunyai potensi kemungkinan terjadinya efek somatik sebesar 3,3 x 10-6, sesuai dengan standar de minimus, nilai risiko ini termasuk dapat diabaikan.
Pemantauan
lingkungan merupakan ketentuan yang diberlakukan, sehingga bila terjadi
kecenderungan peningkatan penerimaan dosis oleh penduduk di sekitar fasilitas
nuklir dapat secara dini diketahui, sehingga kegiatan nuklir dapat dihentikan
segera, dengan demikian kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan dapat diminimalisis
serendah-rendahnya.
Pengelolaan limbah
radioaktif tingkat rendah (LTR) dan sedang (LTS) telah mapan (proven) baik
secara teknologi maupun keselamatan, dan telah diimplemetasikan secara
komersial. Teknologi pengolahan limbah radioaktif ini telah diadopsi dan
diimplementasikan di Indonesia (Batan) dalam mengelola LTR dan LTS baik yang
dihasilkan dari kegiatan Batan maupun dari kegiatan Non-Batan (industri, rumah
sakit, penelitaian dan lain-lainhya).
Pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) di negara-negara industri nuklir selain berbeda, juga masih berubah-ubah. Sebagian memilih daur tertutup (memilih opsi olah-ulang) dan sebagian lainnya memilih daur terbuka (memilih opsi disposal). Indonesia memilih daur terbuka, limbah BBN bekas yang awalnya dipasok dari luar Negeri, direeksport kembali ke negara asal. Sementara LTT yang ditimbulkan dari Litbang disimpan di ISSFE yang berada dalam kawasan nuklir, sehingga aman dan terkendali.
Pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) di negara-negara industri nuklir selain berbeda, juga masih berubah-ubah. Sebagian memilih daur tertutup (memilih opsi olah-ulang) dan sebagian lainnya memilih daur terbuka (memilih opsi disposal). Indonesia memilih daur terbuka, limbah BBN bekas yang awalnya dipasok dari luar Negeri, direeksport kembali ke negara asal. Sementara LTT yang ditimbulkan dari Litbang disimpan di ISSFE yang berada dalam kawasan nuklir, sehingga aman dan terkendali.
Kecenderungan
pembangunan fasilitas disposal yang terjadi di negara-negara industri nuklir
dalam mengantisipasi moto ” NYMBY” adalah di kawasan nuklir yang telah ada. Penerimaan
masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir sangat dipengaruhi oleh keamanan
dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif. Dalam permasalahan ini, umumnya
negara-negara industri nuklir melakukan pendekatan secara teknis, namun
pendekatan secara sosial masih kurang.
Referensi
https://www.facebook.com/permalink.php?id=332652616817239&story_fbid=334207519995082
Tidak ada komentar:
Posting Komentar